Rabu, 25 Mei 2011

LA MAUJUDA ILLA ALLAH

Barangsiapa mengenal Al-Haq niscaya dia melihatNya dalam tiap-tiap sesuatu...
Barangsiapa yang Fana terhadapNya maka lenyaplah dari tiap sesuatu selain Allah...
Barangsiapa yang mencintai Allah niscaya tidak ada sesuatu apa pun yang mempengaruhinya...

Ma'rifatul haq ialah melihat ketuhanan Allah dengan hati, dengan Rasa dan penghayatan lahir dan batin. Maka lenyapnya selain Allah dengan sebab penglihatan qalbu ini dan perasaan yang penuh dengan penghayatan, yang demikian mendalam terhadap keesaan Allah SWT.

Siapa yang benar-benar mengenal Allah dengan imannya, penglihatan hatinya dan perasaannya lahir batin, Insya Allah dia akan melihat Allah pada setiap sesuatu yang dia lihat, baik itu melihat Allah dalam arti Dzatnya yang tidak serupa dengan sesuatu atau dia melihat Allah dalam arti melihat kekuasaanNya, melihat cipataanNya, melihat keagunganNya sifat-sifatNya yang Maha Hebat dan Maha Sempurna (bukan dengan mata kasar).

Dan status yang lain ialah Al Fana yang berarti nampaknya kebesaran Allah sehingga menjelmalah hal keadaan ini atas segala-galanya, maka lupalah seseorang itu pada segala-galanya dan hilanglah semua itu darinya selain hanya kepada Allah. Dialah yang nampak, yang terlihat dimana-mana, sebab dia adalah Maha Esa pada Dzat-Nya dan Maha Esa pula pada sifat-sifatnya, Al Fana ialah semata-mata tanpa mahluk besertaNya.

Berbeda dengan Al Baqa yakni kelihatan mahluk sebab melihat Allah. Status ini lebih tinggi dari Al Fana, pada saat Al Fana lah keluarnya kata-kata syatahat : Ana al Haq....La maujud illalah.

Jadi barangsiapa fana kepada Allah maka Allah menarik (majzub) orang tsb. kepadaNya. Hilanglah perasaannya karena rindu dan asyik masyuk dengan Allah sehingga dia tidak melihat lagi alam mahluk ini.

Keadaan fana bergantung kepada maqam yang diperkenalkan Allah.
Fana fi Af'al, bila Allah membukakan kepada Tauhidul Af'al, maknanya pada peringkat ini ia tidak melihat lagi perbuatan selain perbuatan Allah. La Af'al Illalah.

Fana fi Asma, bila Allah membukakan/mentajalikan Asmanya, Saat itu semua nama sudah kembali kepada yang haq tidak ada yang lain lagi melainkan Dia. Inilah yang menjadi Ana Al Haq seperti apa yang terjadi pada Al Hallaj.

Fana fi Sifat, bila Allah mentajalikan sifatNya yang Maha Sempurna.
Bila keadaan berlaku, segala sifat-sifat sudah dikembalikan pada yang empunya.
terasalah pendengaran itu pendengaran Allah, dan segala-galanya milik Allah.

Fana fi Dzat yatiu fana pada menyatakan Keesaan Allah pada DzatNya. Maqom ini adalah yang tertinggi pada peringkat jenis Fana. Pada tingkatan ini akan dapat dirasakan suatu kenikmatan yang tidak dapat digambarkan oleh kata-kata dan suara oleh huruf dan angka karena asyik dengan "Yang tidak menyerupai sesuatupun".

Maka pada tahap inilah Abu Yazid Al Bustami berkata "Subha inni", Mahasuci Aku.
Inilah sebenarnya pengakuan paling tawadhu bagi yang mengerti dan bagi yang tidak mengerti maka akan dianggap sebagai pengakuan arogan.

Semua ini berkaitan dengan Dzauq yang hanya dapat dirasakan oleh orang yang mengalaminya sendiri, maka dengan ini jualah yang dikatakan Wahdatul Wujud. Wahdatul Wujud didalam Wahdatul Syuhud. Malah ada juga yang membeda-bedakannya. Semuanya bergantung kepada faham dan rasa masing-masing.

Wahdatul Wujud adalah berbeda dengan politeisme. Bahkan apa yang hendak di uraikan oleh Ibnu Arabi pun sangatlah halus dan masih jauh dari hakikat sebenarnya, namun beliau mencoba memanifestasikan dengan kata-kata qiyas dan ibarat demi untuk menjelaskan yang tersirat.

Selain dari ke empat jenis FANA diatas masih ada lagi yaitu BAQA. Maqam Baqa ini adalah maqam yang sempurna. Ibarat bisa melihat dua alam yaitu Lahir dan Bathin.
Melihat yang lahir tapi tidak terhijab dari melihat yang hakikat.

Seperti halnya Fana, Baqa pun mempunyai empat tahap yaitu Af'al, Asma, Sifat dan Dzat. Bila sudah sempurna semua maka saat itulah akan terasa La Maujud Illalah. Dan syahadat pada peringkat inilah syahadat paing tinggi dan utama, karena sudah dinafi dengan La. Termasuk diri sendiri sudah tak ada maka jadilah "Dia menyaksi diri sendiri". Di peringkat inilah yang dikatakan "Aku Menyembah Aku".

Tapi perlu diingat ini semua adalah Dzauqiah atau Rasa yang dicampakan kedalam qalbu oleh Allah SWT bukan pengakuan yang sengaja dibuat di dalam kesadaran biasa, maka bila terdengar oleh yang kurang faham jadilah fitnah. Hamba tetap hamba, khalik tetap khalik. Tapi bila sudah mabuk tak dapatlah membedakan mana gelas mana arak..itulah gila birahi mabuk hakiki.

Barang siapa mengenal akan Tuhannya maka binasalah dirinya. Inilah yang dimaksudkan Hanya Allah yang wajibal wujud...yang lain binasa...

Latihan kearah memfanakan diri inilah yang mesti diamalkan sehingga sampai ke tujuan Hanya Allah, Karena Allah, Demi Allah....

La Maujudan memberi maksud ujud pada tahap hakikat, inilah tahap yang hendak dicapai atau dihayati sewaktu menyebutnya. Secara umum menafikan keujudan semua ini (termasuk kita). Jadi yang ada hanyalah Allah semata-mata yaitu Af'al, Asma, Sifat dan Dzat. Maka inilah yang kita kenal sebagai Tauhid.

Diperingkat inilah ahli hakikat dan ma'rifat mengalami atau merasakan apa yang dikatakan binasa atau fana itu dan karam didalam kebesaran Allah SWT.

HIDUP D DUNIA

Sadarkah kita dengan segala kebijakanNya, renungkan kalo tubuh kita ini tak jauh ibarat sebuah TOPENG pada wajah. Ia memandang tetapi ia buta, karena tidak melihat keadaan yang sebenarnya.

Kita ini sesungguhnya MELIHAT tanpa MELIHAT, karena mata kita terhalang dalam melihat, tetapi bila kita melihat dengan Mata Batin (RASA}, maka badan kita ini seolah menjadi ruhani serta anugerah dari ALLAH SWT.

Topeng ini adalah tirai BAITUL MAQDIS yaitu tirai yang menyembunyikan Tuhan, tetapi Tuhan menyelubungi dirinya tanpa dipaksa.

Heeey.. Penontoon…
Engkau hanya memperhatikan TOPENG bukan tubuh penari, gerak gerik serta keselarasan bahasa yang dituturkan. Bila lakon dramatis berbelas kasih maka engkau yang halus perasaannya akan termehek-mehek menangis, terbawa arus kesedihan, sungguh terjadi demikian karena kepiawaian pelakonnya. Banyak orang memperhatikan topengnya bukan penari-nya yang memakai topeng, tetapi sebenarnya dia lah yang penting.

Demikian pula dalam hidup kita ini, yang berlaku jahat disalahkan dan yang berlaku baik di puja puji, tetapi tidak mempersalahkan dan tidak memuji Batin-nya, yang disalahkan dan dipuji adalah badannya. Bila Cacat di cela, bila Rendah hati di puji, tetapi keadaan kita ialah digerakkan dan didorong oleh Dia, akan tetapi Dia tidak nampak, yang nampak hanya batang tubuh ini. Sama seperti topeng yang menutupi wajah penari.

Bila pagelaran usai, topeng dilepaskan dan dipisahkan dari wajah. Tiada daya tiada upaya ia tergeletak, kembali menjadi sepotong kayu biasa, yang tinggal hanyalah sebentuk ukiran raut muka. Topeng selalu disimpan, tidak dipuji maupun di cela lagi karena sudah tak berbicara lagi.
Topeng dan Penari ada tempatnya dalam perumpamaan ini. Dia yang menyembunyikan diri dalam badan manusia sehingga manusia tidak melihatnya dan hanya terserap oleh badan yang hanya berfungsi sebagai Topeng. Sehabis pertunjukkan Topeng itu disingkirkan oleh Dia, maka :

"Dibelakang Cermin engkau ditempatkan sebagai seekor burung beo, apa yang diucapkan Yang Maha Abadi, itulah yang engkau ulang…"

Maka Jaga Hati, Jaga Lisan, Jaga Perbuatan...
Peliharalah ucapan dan perkataan yang keluar dari mulutmu, seperti kamu memelihara jenggot. Janganlah panjangnya jubah kesombonganmu,menutupi mata hatimu,karena apabila jubah kesombongan menutup mata hati, maka kakimu akan terseok berjalan
tanpa arah tujuan.

SORGA DAN NERAKA

Kita ketahui bahwasanya Allah SWT memiliki sifat yang Rohman dan Rohim (Maha Pengasih dan Maha Penyayang), kepada hambanya telah menurunkan ilmu agama yaitu (syariat, hakikat, tarikat, ma’rifat), jbagi keselamatan umatNya jua, Ilmu Agama yaitu jalan bagi manusia untuk bisa kembali ke asalnya, tempat ruh sewaktu di Qudratullah, maka wajib bagi kita untuk mencari ilmunya yaitu Ilmu Ma’rifat ke asal mula kita jadi, agar nampak jelas kampung halaman tempat kita kembali kelak, kampung halaman yang sejati yaitu Allah SWT (Innalillahi wa inna illaihi Rojiun).


Tapi mengapa umumnya manusia beribadat kepada Allah SWT, yang di dahulukannya itu seolah-olah sedang menabung perbekalan yang kelak akan dibawa untuk pulang ke kampung asalnya, sedangkan tempat untuk menyimpan perbekalan itu tidak tahu, bahkan tidak pernah di ditengok. Pada ketidaktahuannya, akhirnya selalu menyerahkan persolannya ini dengan satu kata "gimana Allah saja lah".

Jika demikian, sama saja kita ini dengan menyuruh Allah SWT menjadikannya sebagai pembantu, sedangkan Allah SWT sudah Kun Faya Kun?, "sekali jadi, jadilah" artinya sudah cukup, tidak akan menuntut lagi, semuanya yang diberikan mencukupi, disinilah kita harus mau mengakui kelemahan sebagai manusia, terkadang egois dan selalu membuat kepura-puraan. Allah SWT hanya menetapkan hak-nya masing-masing hasil yang didapat dari pengembaraan selama berada di alam mulki (dunia) ini. Adanya Surga dan Neraka, bukanlah Allah SWT itu sengaja menciptakannya hanya untuk menyiksa dan mengganjar, Allah SWT setegasnya hanya mengadakan rasa enak dan tidak enak, bersamaan dengan mengadakan mahluknya. Pikirkan dan renungkan, disaaat sekarang pun bisa terasa oleh kita di alam dzohir ini, jika kita membuat susah orang lain, maka suatu saat akan berbalik kepada kita rasa tidak enaknya. Jika membuat enak pada sesama, tentu akan kembali enak pula. Maka setegasnya Syurga dan Neraka itu buatan kita sendiri yaitu dari Tekad,Ucap dan Laku. kita. Kelak diakhirat ada Syurga dan Neraka itu adalah bawaan hasil manusia, masing-masing tergantung kepada tekad, ucap dan lakunya. Jika kita membawa keburukan maka kejadiannya akan menjadi rasa yang itdak enak, jika kita membawa kebaikan maka kejadiannya akan menjadi rasa enak Jika kita membawa kesempurnaan maka akan menjadi sempurna lagi, tidak salah akan balik lagi ke asalnya, tergantung bagaimana ilmunya, sebab semua juga tunggal ilmunya Allah SWT, kemanapun kita mau, ke Syurga ? ke Neraka ? Sempurna ? Allah mempersilahkan, Allah tidak akan melarang. Disinilah perlunya kita belajar Ilmu Agama, yaitu Syariat-Hakikat-Tarikat-Ma'rifat

MENGENAL ALLAH

Membicarakan masalah ma'rifatullahi sebetulnya gampang-gampang susah, gampang ceritanya agak susah dalam membawanya tergantung dari niat dan tahan dalam hal berbagai macam godaan, maklum kita masih berada atau hidup di alam nyata, tapi justeru disinilah ujian yang sebenarnya. Dalam hal Jalan Ma'rifatullahi bisa disimpulkan ada dua jalan atau sering disebut dengan istilah 'tarikat'.
Tarikat disini bukan berarti nama-nama Tarikat seperti Naqsabandiyah, Qodiriah, Samaniyah dsb. itu hanya sebagai perkumpulan atau perguruan atau padepokan, tapi jalan (tarikat) mengenal Allah ini harus benar-benar merupakan Jalan atau Metoda dalam pengenalan terhadap Allah SWT. Diantara dua jalan tersebut adalah sbb :

Pertama,
Mengenal dengan 'Keyakinan dan Kepercayaan' (dari bawah ke atas), yaitu dimulai dari mengaji Qur'an, melaksanakan Rukun Iman dan Rukun Islam. Ibadat kepada Allah, namun sebelum sampai ma'rifatu, jangan keburu senang diam saja di maqom Asma, merasa cukup dengan menyebut-nyebut Asma saja, terus hingga bisa sampai kepada Dzat Sifat Allah, mustahil jika tidak ketemu dengan nikmatNya yang langgeng tiada batas.

Kedua,
Mengenal dengan 'Kenyataan yang sempurna' (dari Atas ke Bawah) yaitu mengenal dengan kenyataan, yang adalah lebih sempurna daripada mengenal dengan kepercayaan saja. Mengenal dengan kenyataan sempuma, ibarat rasa manisnya gula dirasakan sendiri dengan lidahnya, tetapi bila mengenal dengan keyakinan saja, maka manisnya gula itu hanya didapat dari keterangan orang lain yang sudah memakan dan merasakan manisnya gula tsb.

“Man Lam Yadzuk Lam Yadri”, “Hanya yang merasakanlah yang tahu”.

Jalan dari atas ke bawah ini yaitu yang melaksanakan dalil "awalludini marifatlahi ta'alla" jalan yang bukan hanya dari syariat saja, tetapi dari hakiakt juga, yaitu mau berusaha menelaah dan membongkar hijabnya diri, disertai ikhtiar mencari Guru Tuduh, sebab tidak akan weruh tanpa guru. Jalan seperti ini biasanya hanya dilakoni oleh apa yang disebut Tarikat Wali yaitu mengejar Jauhar Awal atau Nurullah atau Hakikatnya Muhammad.

Mustahil bila tidak ada hikmah dan hidayah dari para wali bagi kita, sebab dahulu para wali mau bermuzakarah, bertirakat dan berkhalwat itu untuk mencari 'bahrul hayat' untuk membela umatnya, agar bisa pulang ke 'babaran asal' kepada yang Haq menepati dalil “Innalillahi wa inna illaihi Rojiun”

Itulah perbedaan diantara mengenal dengan kenyataan dan mengenal dengan kepercayaan. Mereka yang telah mengenal Dzat Allah, harus kita ikuti segala petunjuk-petunjuknya, mereka itu termasuk golongan orang yang sholeh dan diakui oleh Allah SWT kesempuranaan ilmunya, sesuai dengan dalil dalam Al Qur’an Surat Luqman ayat 15,sbb :

“Wat tabi’sabiila man anaaba ilaiya, tsuma ila iya marji’kum”

“Dan ikutlah jalan mereka yang telah kembali kepadaKu, kemudian kepadaKu lah tempat kembali kamu sekalian”

SEKELUMIT

BODOH                                                                                                                                                  Jika mata pencaharian meningkat dengan pengetahuan
Tidak ada orang miskin selain orang bodoh
Namun seandainya orang bodoh mendapat mata pencaharian
Orang-orang terpelajar akan terkejut
Kekayaan tidak di peroleh hanya dari keahlian
Tetapi juga merupakan anugerah dari Allah
Terkadang di dunia ini orang-orang bodoh di hormati
Sementara orang-orang bijak di hina
Jika seorang ahli kimia meninggal dalam kesedihan dan kesengsaraan
Orang bodoh akan menemukan harta di tengah kehancurannya                                                              AWAL DARI NAFSU MANUSIA
Setiap manusia yang Hidup di alam ini tentu memiliki Rasa, dimana ada hidup tentu ada Rasa, ada Rasa tentu ada Hidup. Hakikat Rasa adalah utusan Hidup. Jirim dan Jisim manusia adalah tempat Rasa. Hidup dengan Rasa, kaya akan Rasa. Pada hakikatnya manusia lahir ke dunia ini karena ada Rasa, yang tak lain dari Rasa Ibu dan Bapak kita, setelah sah menjadi suami istri, sejak sah melaksanakan kewajibannya sebagai suami istri, dimana dua rasa bergulung menjadi satu. Didalam rahim sperma tumbuh menjadi segumpal darah, lalu menjadi janin dan ada hidup setelah 120 hari, Allah SWT mengutus Ruhul Qudus kedalamnya. Ketika bayi lahir ke alam dunia Ruhul Qudus atau ‘Hidup Suci’ itu kontak dengan hawa-hawa dunia yang mengadung unsur-unsur Air, Angin, Api, dan Tanah, timbullah Nafas yaitu sifatnya Nyawa.

Saat pertama kali bayi mengecap air susu ibunya, maka Rasa Sejatinya atau Rasa Azali nya kontak dengan saripati-saripati makanan yang terkumpul dalam ASI, yang asal kejadiannya pun dari empat unsur-unsur alam dunia tadi, sebab jika Ibunya tidak memakan makanan yang ada di alam ini, tidaklah mungkin akan ada air susunya. ASI yang dihisap bayi terus mendorongnya menjadikan sebuah keinginan (nafsu), maka dari situ mulai tumbuhlah Nafsu, yaitu pada saat kontaknya Rasa Sejati dengan Air Susu Ibu, betapa si bayi merasakan manisnya rasa susu yang membuatnya semakin lama semakin ketagihan, telat diberi ASI pun menangislah sang bayi,hawa dari makanan dan minuman terus mendorong bayi tumbuh membesar dan memproduksi Darah, inilah yang disebut Roh Jasmani.

Buktinya jika darah mannusia beku maka berhenti pula Nafas dan Nafsu-nya, sedangkan Hidup Suci yang di utus Allah SWT tadi sewaktu azali, akan tetaplah Hidup, karena asal dari Sang Maha Hidup. Bayi semakin hari semakin tumbuh besar, semakin kuat pula keinginannya, maka semakin tebal pula nafsu-nafsu menghijabnya hingga lupa kepada hidup-nya yang azali. Alangkah arifnya bila kita manusia mau mengenal ke asal-usul kejadian dirinya, karena ini semacam barometer untuk mengenali jalan pulang ke kampung asalnya yaitu ke Sagara Hayat, kepada Sang Maha Hidup, Allah SWT. Berusahalah agar menjadi arif, jika kita telaah Rukun Islam yang kelima yaitu Naik Haji ke Baitullah, bila dipikir dibolak balik, dikaji dan ditelaah dengan seksama, maka itu mirip sebuah ibarat, illustrasi perjalanan manusia ke Pusat Diri, salah satu rukun haji yaitu melaksanakan Thawaf mengelilingi Ka’bah yang gerakannya melingkar yang berlawanan dengan arah jarum jam, mengandung makna menyingkapkan kembali hijab-hijab diri dari nafsu-nafsu yang terlanjur membalut raga, agar bisa menemukan kembali Hidup Suci, bisa “Mulih ka Jati Mulang ka Asal”, menepati dalil Qur’an Suci - Innalilahi wa inna illaihi Rojiun...
"Sesungguhnya kita (manusia) berasal dari Allah dan Sesungguhnya kita (manusia) akan kembali kepada Allah jua"
Benarkah kita merasa asal dari Allah SWT ? Jika pengakuan kita seperti itu, maka WAJIB kita kembali itu kepada Allah SWT.                                                                                                                                       PUJIAN SEBELUM MENGENAL                             
Setiap suatu pekerjaan tentu mengandung suatu tujuan, begitupun dalam hal ibadat kepada Tuhan, namun apalah artinya suatu pekerjan jika tanpa Ilmu, akan sia-sia jadinya, begitupula dalam hal ibadat, janganlah menjadi sia-sia.

Tujuan ma’rifatullah (mengenal Allah SWT) adalah untuk mencapai puncak tertinggi “Jati Diri = Raga Jati”, agar tercapai kedamaian dalam diri dan alam semesta dengan terlebih dahulu mengetahui segala rahasiaNya.
Intisari rahasia perdamaian semesta ialah aturan yang benar yang berasal dari agama yang dipimpin oleh para nabi dan para Rasul Allah yang tercantum dalam kitab-kitab suci baik Al Qur’an, Injil, Zabur maupun Taurat. Untuk dapat beragama dan untuk mudahnya praktek agama, wajib terlebih dahulumengetahui adanya Dzat Allah Yang Maha Esa, sebab apabila tidak mengenal Dzat Yang Maha Hidup, tentu tidak akan sempurna menjalankan agamanya, sesuai anjuran Rasulullah SAW :

Awaaludiini ma’rifatullahi
“Awal-awalnya agama adalah mengenal Allah SWT”
Apabila telah mengenal Dzat Allah, tentu pula mencapai tingkatan Wahdat al Wujud yang maksudnya Kesatuan Wujud Semesta dan apabila mencapai pengertian demikian pasti mencapai pula perdamaian pribadi dan semesta. Ma’rifatullah merupakan syarat sah-nya amal ibadat agar yakin kepada yang akan disembahNya, serta tiada putus hingga ajal tiba. Sah-nya menyembah itu harus kenal dahulu kepada yang akan disembahnya, tidak mendahulukan sembah sebelum mengenal yang disembah, benarnya puji harus bukti dulu yang dipujinya, belumlah benar mengerjakan pekerjaan jika pekerjaan itu belum dipahami. Apabila kita mengaku sebagai hamba Allah (Kawula Gusti) maka harus melihat dulu di Gustinya, ibarat seseorang akan bekerja maka harus kenal dulu majikannya sebab tidaklah dapat langsung bekerja, tanpa tahu siapa majikannya dan tentu tidak akan mendapat upah dari pekerjaannya.

"Sesungguhnya manusia itu dalam keadaan merugi"
                                                                                 

Rabu, 18 Mei 2011

hikmah 2

Ali Ibn Abī Thālib berkata, “Sesungguhnya dunia telah pergi berpaling sedangkan akhirat datang menghadap. Masing-masing dari keduanya memiliki anak. Maka jadilah kalian anak-anak akhirat dan janganlah menjadi anak-anak dunia. Ketahuilah, sesungguhnya mereka yang zuhud di dunia menjadikan bumi sebagai permadani, tanah sebagai kasur dan air sebagai minyak wangi. Ingatlah, siapa saja yang merindui surga niscaya terhibur dan terlupakan dari syahwat; barangsiapa yang takut dengan neraka niscaya mundur dari hal-hal yang diharamkan; dan barangsiapa yang zuhud di dunia maka terasa ringan baginya segala musibah.” [Ar-Riqqah wal Bukā` fī Akhbār ash-Shālīhīn wa Shifātihim, Imam Ibn Qudāmah, hal. 31; Az-Zuhd, hal. 130; dan Al-Bayhaqi dalam Syu'ab Al-Īmān no. 9670]

‘Aun Ibn ‘Abdillah berkata, “Kedudukan dunia dan akhirat dalam hati seseorang adalah bagaikan dua sisi timbangan. Jika salah satunya sisinya menurun maka sisi lainnya terangkat.”

Beliau juga berkata, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kita menjadikan untuk dunia adalah sisa dari akhirat mereka. Namun sekarang kalian justru menjadikan untuk akhirat kalian adalah sisa dari dunia kalian.” [Shifah Ash-Shafwah, vol. III, hal. 101]

Dari Muhammad Ibn Abī ‘Imrān, ia mendengar Hātim al-Ashamm ditanya oleh seseorang, “Di atas apa engkau membangun segala urusanmu dalam hal tawakkal kepada Allah?” Hātim menjawab, “Di atas empat perkara. (1) Aku tahu rizkiku tidak akan dimakan oleh selainku, karena itu jiwaku pun tentram. (2) Aku tahu amalanku tidak akan dilakukan oleh selainku, karena itu aku pun tersibukkan dengannya. (3) Aku tahu kematian akan mendatangiku secara tiba-tiba, karena itu aku pun bersegera untuk itu. (4) Aku tahu bahwa aku tidak akan pernah terlepas dari penglihatan Allah di mana pun aku berada, karena itu aku malu kepada-Nya.” [Shifah ash-Shafwah, IV/161. Lihat pula ad-Dun-yā Zhill Zā-il, hal. 21]

Yahya Ibn Mu’ādz berkata, “Sungguh kasihan anak Adam, sekiranya saja ia takut neraka sebagaimana ia takut kemiskinan niscaya ia akan masuk surga.”

Beliau juga berkata, “Wahai anak Adam, kau meminta dunia dengan tuntutan orang-orang yang benar-benar butuh kepadanya. Namun kau meminta akhirat dengan tuntutan orang-orang yang tidak membutuhkannya. Padahal, apa yang kau dapatkan dari dunia sudah cukup meskipun kau tidak memintanya, sementara akhirat akan kau dapatkan dengan menuntut dan memintanya. Karena itu, sadarilah kondisimu.” [Shifah ash-Shafwah, vol. IV, hal. 93]

Fudhayl Ibn ‘Iyādh berkata, “Rasa takut seorang hamba kepada Allah adalah sebesar tingkat keilmuannya terhadap Allah; dan tingkatan zuhudnya terhadap dunia adalah sebesar hasratnya terhadap akhirat.” [Ad-Dun-yā Zhill Zā-il, hal. 28]

Suatu ketika beliau ditanya, “Bagaimanakah keadaanmu?” Fudhayl menjawab, “Keadaan mana yang engkau maksud? Keadaan dunia atau keadaan akhirat? Jika engkau bertanya tentang keadaan dunia, maka dunia telah condong bersama kami dan membawa kami kemana pun ia pergi. Dan jika engkau bertanya tentang keadaan akhirat, maka bagaimanakah engkau melihat keadaan orang yang telah banyak dosanya, lemah amalannya, fana umurnya, belum memiliki bekal untuk hari kembali, belum siap menghadapi kematian, serta belum tunduk, belum berusaha dengan sungguh-sungguh dan berhias untuk kematian, namun justru berhias untuk dunia.” [Ad-Dun-yā Zhill Zā-il, hal. 37]

Abū Muslim al-Khaulāni berkata, “Sekiranya aku melihat surga dengan mata kepala, maka aku tidak mempunyai bekal (untuk ke sana); dan sekiranya aku melihat neraka dengan mata kepala, aku juga tidak mempunyai bekal (untuk selamat darinya).” [Shifah ash-Shafwah, vol. IV, hal. 213; dan Siyar A'lām an-Nubalā`, vol. IV, hal. 9]